Minggu, 23 Mei 2010

Analisis Usaha Ternak Sapi Perah Rakyat

Oleh:

Riza Khaedar

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Meningkatnya kesejahteraan hidup telah mengubah kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya menu makanan bergizi. Indikasi ini terlihat dari permintaan susu yang terus meningkat jauh melebihi kemampuan produksi domestik. Konsumsi susu setiap tahun memang terus menunjukkan kenaikan. Rata-rata pertumbuhan konsumsi susu selama periode 2002 hingga 2007 sebesar 14,01% (Sucipto & Hatta, 2009). Namun, pertumbuhan ini tidak sebanding dengan produksi susu di dalam negeri. Pertumbuhan produksi rata-rata pada periode yang sama hanya berkisar sebesar 2%. Ini sangat tidak berimbang dengan kebutuhan pasar dalam negeri. Untuk menutupi kekurangan produksi di dalam negeri, terpaksa dipenuhi dari impor susu. Namun kebijakan ini mempunyai konsekuensi penggunaan devisa negara yang cukup besar. Tahun 1984 impor produksi susu menghabiskan devisa 41,65 juta USD, meningkat menjadi 61,42 juta USD tahun 1989 (Statistik Peternakan, 1991). Menurut data BPS, pada 2002 lalu impor susu dan produk susu Indonesia baru tercatat 107.900 ton, yang kemudian meningkat 8,7% menjadi 117.300 ton pada tahun berikutnya dengan nilai US$207,5 juta. Namun, impor susu terus membengkak hingga pada November 2008 lalu mencapai 171.900 ton.

Untuk mengurangi penggunaan devisa negara pada sektor impor susu diupayakan meningkatkan produksi susu lokal melalui pengembangan-pengambangan peternakan sapi di dalam negeri. Secara khusus situasi peternakan sapi perah di Indonesia masih mempunyai kelemahan, antara lain: a). Rendahnya harga susu impor dengan harga susu domestik. b). Rendahnya produktivitas per satuan ternak. c). Rendahnya skala kepemilikan sapi perah per unit usaha (Kuswaryan dkk, 1992).

Pengembangan usaha peternakan rakyat sangat diperlukan dalam upaya untuk mengurangi laju impor susu ke Indonesia, yang jelas-jelas merugikan dan menghambat perkembangan usaha peternakan dalam negeri karena kalah bersaing dengan susu impor. Pengembangan usaha peternakan rakyat seharusnya dikembangkan dan mendapatkan perhatian khusus. Pengembangan ini tentu saja harus diimbangi dengan tata laksana usaha peternakan. Santosa (2008) menyatakan, dalam tata laksana suatu usaha peternakan, ternak yang bernilai genetis baik dan berkualitas tinggi dengan sendirinya akan diperoleh jika peternakan dikelola dengan trampil berdasarkan teori ilmiah praktis.

Peternak rakyat harus dibekali ketrampilan pengelolaam ternak secara profesional dan tata laksana peternakan yang baik, karena tanpa pengelolaan yang profesional dan tata laksana yang baik, produksi ternak yang akan dihasilkan tidak akan sesuai dengan harapan.

Pengelolaan ternak yang profesional harus juga diimbangi dengan kemampuan peternak untuk menganalisis usaha peternakanya, dengan demikian peternak mampu mengetahui prospek jangka pendek dan jangka panjang usaha peternakanya. Analisis usaha peternakan diharapkan mampu membantu peternak untuk menghitung penerimaan, besarnya biaya yang dibutuhkan serta melakukan efisiensi atas usaha peternakanya.

Pemerintah harus mampu mengambil langkah sebagai bentuk perlindungan atau campur tangan untuk menyelamatkan produsen dalam negeri. Pilihannya, di antaranya, dengan melakukan penghentian impor lewat penerapan kembali tarif sebagai penghalang impor masuk, atau cukup dengan mengurangi impor lewat pengaturan melalui kuota impor. Jika pilihan kedua yang diambil, maka fungsi impor benar-benar untuk menambal defisit di pasar susu nasional. Penghentian impor mungkin terlalu ekstrem, karena hal ini secara otomatis akan menaikkan harga susu cukup tinggi di tingkat konsumen. Itu karena produksi susu nasional hanya mampu memasok tidak lebih dari separuh konsumsi susu nasional. Lebih bijaksananya, pembatasan melalui kuota impor lebih relevan dengan pertimbangan, pertama, produsen susu dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi nasional. Kedua, Indonesia masih membutuhkan susu impor untuk memenuhi konsumsi dalam negeri. Kuota ini diharapkan mampu membatasi impor, sehingga susu impor tidak membanjiri pasar dalam negeri yang mengakibatkan anjloknya harga susu dalam negeri dan kemudian merugikan produsen dalam negeri. Selain itu, dalam jangka panjang, langkah yang perlu menjadi prioritas pemerintah adalah menstimulus peternak susu dalam negeri untuk meningkatkan produksi susunya guna memenuhi konsumsi nasional. Dengan demikian, ketergantungan impor dapat diminimalisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2002. Data Statistik Impor Susu Indonesia. http://www.bps.go.id/ ( 7 April 2010)

Kuswaryan dkk. 1992. Analisis Ekonomi Usaha Ternak Sapi Perah Rakyat Sebagai Upaya Substitusi Impor Susu. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Santosa Undang. 2008. Mengelola Peternakan Sapi Secara Profesional. Jakarta: Penerbit Swadaya.

Statistik Peternakan. 1991. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Bina Program. Jakarta: Direktorat Jendral Peternakan Departemen Pertanian.

Sucipto, Hatta Arif. 14 Juni 2009. Bila Susu Terasa Pahit. Dalam: Warta Ekonomi edisi 11/XXI/2009. Halaman 20-22.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar